Wujudkan Sekolah Yang Ramah Bagi Anak Berkebutuhan Khusus, Apa Saja Tantangannya?
Upaya mewujudkan sekolah yang ramah bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah keterbatasan fasilitas fisik di sekolah. Banyak sekolah belum menyediakan akses yang memadai seperti jalur kursi roda, toilet khusus, atau ruang belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Padahal, anak-anak dengan hambatan fisik atau sensorik seperti tunanetra atau tunarungu membutuhkan sarana khusus agar bisa belajar dengan nyaman. Situasi ini membuat mereka sering kali merasa terkucilkan, bahkan sulit mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lancar. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman dan menyenangkan justru menjadi tempat yang penuh hambatan bagi sebagian anak. Kurangnya tenaga pendidik yang terlatih secara khusus juga menjadi permasalahan dalam menangani ABK. Tidak semua guru memahami cara mengajar anak dengan autisme, ADHD, disleksia, atau kondisi khusus lainnya. Padahal, anak-anak ini membutuhkan pendekatan yang berbeda, baik dalam hal komunikasi, materi pembelajaran, maupun cara penilaian. Misalnya, ada anak yang lebih paham jika diajar lewat gambar, atau butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan tugas. Tanpa pelatihan yang tepat, guru bisa kewalahan dan anak pun merasa kesulitan mengikuti pelajaran. Ini juga berdampak pada suasana kelas, karena guru harus membagi perhatian secara tidak seimbang terhadap semua siswa. Selain itu, stigma masyarakat juga menjadi penghalang utama pendidikan inklusif. Tidak sedikit orang tua yang merasa malu atau takut menyekolahkan anaknya bersama ABK karena dianggap akan mengganggu proses belajar. Bahkan, ada anggapan bahwa ABK sebaiknya hanya belajar di sekolah luar biasa (SLB), bukan di sekolah umum. Padahal, semangat pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak untuk belajar dan berkembang bersama. Jika stigma ini terus dibiarkan, maka pendidikan yang setara dan adil hanya akan jadi wacana tanpa realisasi